Menu

Batu Akik: Perhiasan atau Fetis?

nobanner

batu_akiDemam batuk akik sedang melanda Indonesia. Di mana-mana, kota besar seperti Jakarta atau pedesaan, di pusat perbelanjaan atau pemukiman penduduk, orang berjual-beli batu akik. Penggemarnya berasal dari berbagai lapisan dan tingkat kemampuan keuangan; dari tukang becak, pemulung sampai dokter, pengusaha, pejabat tinggi dan artis.

Efek ekonomis tentu sangat baik karena bisnis ini sangat “booming”. Orang dapat tiba-tiba menjadi kaya karena satu cincin batu akik-nya terjual dengan harga miliaran rupiah.  Namun ada efek buruk terhadap alam karena banyak orang lalu menggali dan mengambil batu-batu di pekarangan atau di hutan. Sebenarnya, kegemaran terhadap batu akik ini sudah lama ada di dalam masyarakat. Kehebohan atau demam batu akik baru terjadi beberapa tahun belakangan ini karena penyebaran lisan dan melalui pemberitaan dan pembahasan di berbagai media.

Daya Tarik Batu Akik

Batu akik yang sudah dibentuk menjadi cincin tampak unik, antik, indah dan tentu menarik. Karena itu, ada orang yang memperlakukannya sebagai perhiasan. Nilai keunikan dan keindahannya ditentukan oleh bentuk, kehalusan dan corak atau motifnya. Unsur-unsur ini menentukan tinggi rendah harganya. Seperti terhadap perhiasan lain, perasaan orang ketika melihat batu akik adalah senang, suka, menggemari, lalu membeli, memakai atau mengoleksinya.

Dalam Islam, daya tarik dan memakai cincin batu akik bukan terutama sebagai perhiasan saja, melainkan juga merupakan sunnah, dianjurkan atau bahkan sebagai “kewajiban”. Ini karena Nabi Muhammad SAW menggunakan cincin berbatu zamrud dari Habasyi–Afrika dan atau dari Yaman yang dibungkus perak bertuliskan nama Nabi dan digunakannya sebagai cap atau meterai. Orang Islam yang hendak meneladani Nabi merasa wajib mengikuti kebiasaannya termasuk menggunakan cincin yang perak sebagai tanda kesederhanaan dan bukan emas sebagai tanda kemewahan.  Karena itu, banyak orang Islam yang berusaha mendapatkan dan menggunakan cincin batu akik.

Ada juga yang tertarik karena kepercayaan magis, bahwa batu itu adalah mutu manikam yang memiliki kesaktian atau kekuatan gaib. Kesaktiannya didapat melalui berbagai cara seperti sebagai warisan atau pemberian turun temurun dari ayah lalu kakek, kakek buyut dan seterusnya. Ada yang menyebut kesaktian itu didapat dari pertapaan di tempat keramat atau di kuburan para leluhur atau tokoh agama. Juga ada yang didapat dengan cara kilat; tiba-tiba sudah ada di hadapannya. Dan ada yang diberikan oleh seorang dukun atau paranormal dan sudah mengisinya dengan kekuatan yang sakti.  Kesaktian batu itu menurut para pemilik (atau penjualnya) dibuktikan oleh berbagai cara. Misalnya, batu itu pada waktu tertentu menunjukkan tulisan-tulisan sakral atau mantra-manta; batu itu bersuara yang memerintahkan pemiliknya melakukan ritual atau perbuatan tertentu; dari batu itu muncul cahaya yang dipercayai sebagai sosok ilahi, dewa atau arwah leluhur; dan batu itu terbukti telah menyembuhkan penyakit, terlindung dari bahaya atau menyebabkan keberhasilan.

Batu Akik Sebagai Fetis

Adanya kepercayaan magis terhadap cincin batu akik tersebut menunjukkan bahwa paham atau ajaran agama, khususnya agama suku, lokal atau agama leluhur berperan. Paham dan kemudian perlakuan khusus terhadap benda yang dipercayai memiliki kesaktian atau kekuatan magis atau supranatural disebut fetisisme. Kata fetis berarti (benda) buatan yang dipergunakan untuk memuaskan kebutuhan batin, jiwa atau rohani dan kebutuhan psikis biologis manusia. Fetisisme sebenarnya adalah bagian daridinamisme—kepercayaan tentang adanya kekuatan gaib atau supranatual pada setiap benda yang dapat digerakkan atau dimanfaatkan oleh manusia  dan animisme—kepercayaan terhadap adanya roh atau kekuatan berjiwa dan berpribadi yang terdapat pada alam atau benda tertentu.

Benda fetis menimbulkan rasa dekat atau intim, sikap tunduk atau patuh. Lalu, benda yang dipercayai sakti itu diperlakukan dengan sangat luar biasa, seperti dirawat dengan hati-hati dan tekun, dipuja dan disembah serta diberikan sesajen untuknya. Jadi, ada ritual tertentu terhadapnya. Seseorang yang memiliki keintiman dengannya merasa mendapatkan kekuatan ekstra atau istimewa dan kepuasan secara emosional, batiniah, atau rohani. Dalam pemahaman dan praktik, batu akik yang dipercayai sakti menjadi alat dan tempat perlindungan atau keselamatan, sebagai sarana yang memberi kesuksesan; menjadi berkat atau sebagai hoki yang memberi rezeki.

Dalam Psikologi, fetisisme sering diidentikkan dengan perilaku seksual. Fetisisme seksual diperlihatkan oleh orang yang kecanduan benda-benda tertentu yang dipergunakan dalam kegiatan seksual. Benda-benda itu “dipuja” dan memberikan kepuasan nafsu seksual. Ada benda yang adalah bagian tubuh manusia seperti alat kelamin laki-laki atau perempuan, rambut, payudara, bibir, darah, bahkan tinja, air seni dan mayat, dan benda-benda mati dan buatan seperti pakaian dalam, cambuk, tali pengikat, tempat tidur khusus, pohon dan benda-benda buatan lainnya untuk keperluan kegiatan seksual.

Untuk mendapatkan bagian tubuh atau benda-benda itu dan mendapatkan kepuasannya, ada orang yang sampai melakukan kekerasan dan kejahatan. Misalnya, mencuri pakaian dalam terutama milik wanita, menggunakan tali untuk mengikat pasangan, mencambuk dan melukai pasangannya sampai berdarah, dan ada yang sampai membunuh lalu menggauli mayatnya. Juga ada yang gemar serta menggunakan benda-benda seksual buatan lainnya. Orang-orang seperti itu mendapatkan kepuasan seksual yang tertinggi dari benda-benda dan cara demikian. Psikologi melihat perilaku seksual itu sebagai perilaku menyimpang dan dikategorikan sebagai penyakit atau gangguan kejiwaan khususnya dalam orientasi seksual.

Sebagai perhiasan untuk tampil unik dan menarik, tentu memakai cincin batu akik adalah wajar. Namun jika sudah dijadikan fetis tentu itu mengandung persoalan rasional, psikis dan keagamaan. Psikologi menyebutnya penyakit  atau gangguan kejiwaan. Agama monoteis seperti Yahudi, Kristen dan Islam menyebut fetisisme sebagai syirik atau penyembahan berhala. Orang yang rasional dan normal tentu tidak ingin disebut sakit jiwa dan orang beragama pasti menolak jika disebut penyembah berhala.

sumber : satuharapan.com|Stanley R. Rambitan/Teolog-Dosen Pascasarjana UKI 

Comments

comments