Hidup Damai Tanpa Dendam
Minggu, 10 Agustus 2014
Bacaan : Kejadian 45 : 1 – 9 & Kolose 3 : 12 – 15
Hidup Damai Tanpa Dendam
Kisah hidup Yusuf bak adegan-adegan dalam sebuah film. Di awali dengan penderitaan diakhiri dalam kebahagian. Yusuf menerima perlakuan buruk dari saudara-saudaranya, dimusuhi, dibuang ke dalam sumur, kemudian dijual kepada Potifar. Tidak berhenti disitu saja, Yusuf difitnah, karena tidak mau menuruti keinginan isteri Potifar. Sampai akhirnya, ia dijebloskan ke dalam penjara (Kejadian 37-41).
Tragis, menyedihkan namun Yusuf tidak menaruh dendam atas saudara-saudaranya. Yusuf mengimani bahwa setiap peristiwa baik itu suka maupun duka, manis atau pun pahit, susah dan senang merupakan bagian dari rencana Tuhan yang baik atas diri Yusuf. “..Janganlah menyesali diri karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu” (Kejadian 45:5). Bagi Yusuf, apapun yang terjadi dalam hidup ini selalu ada dalam rancangan indah Tuhan. Inilah bukti kekuatan iman Yusuf, ia pribadi yang mampu melihat kebaikan-kebaikan Tuhan di tengah peristiwa penderitaan sekalipun. Kekuatan iman inilah yang akhirnya membuat Yusuf mau dan mampu mengampuni saudara-saudaranya. Tangisan keras-keras Yusuf bukan lagi tangisan dendam, bukan juga tangisan kesedihan karena teringat perlakuan saudara-saudaranya dimasa lalu. Tangisan Yusuf adalah tangisan kebahagian karena dapat berjumpa dengan saudara-saudaranya, setelah sekian lama berpisah. “Marilah dekat-dekat, akulah Yusuf saudaramu yang kamu jual ke Mesir” (Kejadian 45:4).
Rasul Paulus hendak menjelaskan status orang-orang Kristen di kota Efesus, mereka adalah manusia-manusia baru, orang-orang pilihan yang dikuduskan dan dikasihi Allah. Oleh karena itu, mereka harus memiliki laku hidup baru yaitu belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabar satu dengan yang lain, saling mengampuni dan tidak menyimpan dendam. Sebab Kristus telah terlebih dahulu mengampuni kita semua. Tindakan kasih harusnya menjadi pengikat yang mempersatukan umat. Sehingga tercipta suasana damai sejahtera di tengah persekutuan.
Mengasihi orang yang mengasihi kita itu mudah. Mengasihi orang yang membenci kita itu yang susah. Mencintai kawan itu gampang, mencintai musuh itu yang sulit. Bagi sebagian orang, membalas kejahatan dengan kejahatan adalah hal yang wajar dan dibenarkan. Hukum rimba masih berlaku hingga sekarang, “mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa dibayar nyawa”. Ketika kita atau seseorang yang kita kasihi dilukai, maka keinginan untuk membalas dendam akan menguasi pikiran kita. Namun sebenarnya, kita tidak dapat melakukan pembalasan yang setimpal. Dr. Lewis Smedes, seorang profesor Teologi, pernah menulis tentang pengampunan dalam buku Forgive and Forget. Ia berkata, “Karena tak bisa dihitung secara matematis, balas dendam tak bisa dihargai dengan skor. Pengampunan adalah satu-satunya cara agar kepahitan hilang dari ingatan”.
Smedes mengatakan, pengampunan tidak berarti melupakan, memutuskan, atau membiarkannya berlalu. Sebaliknya, pengampunan berarti berani mengingat kenangan menyakitkan dengan cara pandang baru (perlakukan tidak adil pada masa lalu dilihat dalam terang “ujian yang menguatkan”), serta berani memutus lingkaran balas dendam.
Mengampuni merupakan karya kasih yang terberat dan berisiko tinggi. Mengampuni berarti menari mengikuti irama detak jantung Allah yang penuh ampunan. Bukan kemauan ego dan nafsu kita.
Saat ini kita kembali diingatkan akan status kita sebagai manusia-manusia baru, orang-orang pilihan yang dikuduskan dan dikasihi Allah. Standar hidup kita bukan standar duniawi melainkan standar hidup Kristus. Tuhan bersabda, “Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan. Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” (Roma 12:19, 21). (KPD)