Menu

Sejarah

GKJ Bekasi

Jakarta, ibu kota negara Republik Indonesia, merupakan pusat pemerintahan. Tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga pusat perekonomian. Sehingga banyak penduduk dari berbagai daerah yang berdatangan ke ibu kota pada awal kemerdekaan. Demikian pula orang–orang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada waktu itu sudah banyak keluarga kristen Jawa yang bergabung dalam Gereformeerde Kerk, Kwitang dan Gereja Pasundan Rehoboth, Meester Cornelis (Jatinegara) . Kedua gereja tersebut tidak menggunakan bahasa Jawa dalam kebaktiannya, sehingga menimbulkan kerinduan keluarga kristen jawa untuk mengadakan kebaktian dengan pengantar bahasa Jawa tanpa harus meninggalkan gereja masing-masing. Persekutuan keluarga kristen Jawa ini makin erat dengan berbagai kegiatan yang bersifat kekeluargaan sehingga memunculkan kerinduan dan ide adanya Gereja Kristen Jawa di Jakarta.

Keinginan tersebut mengalami proses yang panjang, perbedaan pendapat berkaitan dengan latar belakang “Gereformeerde” atau bukan yang pada akhirnya menyebabkan pecahnya persekutuan itu menjadi dua. Persekutuan Gereformeerde pindah ke Christelijke Standaardschool Kwitang dan berlindung dalam pemeliharaan Gerefoormeerde Kerk Kwitang (Kelompok Ibadah Kwitang). Sedangkan kelompok yang tidak setuju dengan pemakaian istilah Gerformeerde tetap beribadah di aula Hogere Theologische  School, Salemba dilayani oleh Pdt. K. Tjokrosiswondo.  Majelis Gereformeerde Kerk, Kwitang memanggil seorang tenaga gereja lulusan pendidikan teologi Yogyakarta dalam diri Basoeki Probowinoto untuk melayani kelompok kebaktian dengan pengantar bahasa Jawa.

Dalam perjalanannya, kelompok kebaktian bahasa Jawa didewasakan oleh Gereformeerde Kerk Kwitang  dalam kebaktian khusus yang dipimpin oleh Pdt. Ishak Siagian pada Minggu Pon, 21 Juni 1942. Jemaat baru ini bergabung dengan Klasis Kristen Jawa Tengah Yogyakarta. Berhubung jemaat baru yang didewasakan ini tanpa memakai nama Gereformeerde sehingga kelompok kebaktian di Salemba 10 mau bergabung pada 30 Agustus 1942. Pdt. Basoeki Probowinoto  menjadi pendeta pertama, dua tahun kemudian mentahbiskan pendeta kedua Roesman Moeljodwiatmoko pada 25 Juli 1948.  Warga jemaat makin bertambah dan menyebar di seluruh kota Jakarta. Pada 27 November 1974 mentahbiskan Suwandi Martoutomo, S.Th. Mentahbiskan lagi sebagai pendeta keempat Kadarmanto Hardjowasito, S.Th pada 22 Juni 1978. Pentahbisan beberapa pendeta untuk mencukupi jumlah pendeta yang tidak seimbang dengan jumlah warga jemaatnya.

Pada 1 Januari 1971, untuk pertama kalinya, GKJ Jakarta mendewasakan wilayah Kebayoran menjadi Gereja Kristen Jawa di Kebayoran Baru yang kemudian hari berubah nama menjadi GKJ Nehemia. Memasuki tahun 1988/1989, GKJ Jakarta mulai melangkahkan kaki dalam persiapan pembiakan jemaat, yaitu mendewasakan wilayah-wilayah yang sudah mampu menjadi jemaat mandiri. Pembiakan wilayah pertama pada tahun 1971, dua puluh tahun kemudian baru melakukan pembiakan di tahun 1991, yaitu GKJ Eben-Haezer (26 Juni 1991). Lamanya jarak pendewasaan dari GKJ Nehemia dengan GKJ Eben-Haezer ada kemungkinan karena berbagai pertimbangan GKJ Jakarta.  Berturut-turut dilaksanakanlah pembiakan wilayah-wilayah yang lain, GKJ Tanjung Priok (28 Mei 1993), GKJ Pangkalan Jati (31 Mei 1995), GKJ Bekasi (25 Agustus 1995), GKJ Joglo (7 Oktober 1995), GKJ Depok (2 Mei 1998), GKJ Pondok Gede (2 November 1998), GKJ Gandaria (8 Juli 2000), GKJ Grogol (22 September 2001), GKJ Bogor (22 Juli 2006).

Bp. Soerono Reksopramono

GKJ Bekasi menjadi salah satu jemaat hasil dari pembiakan wilayah GKJ Jakarta. GKJ Bekasi  tentu mempunyai kisahnya sendiri dari salah satu kelompok GKJ Jakarta sampai menjadi sebuah gereja yang mandiri. Sebelum menjadi wilayah, jemaat di Bekasi masih melakukan kebaktian di GKJ Jakarta. Ada kerinduan yang muncul dari jemaat di Bekasi untuk dilayani kebaktian di Bekasi. Setelah disetujui oleh GKJ Jakarta menjadi sebuah wilayah pelayanan baru, maka Wilayah Bekasi mengadakan kebaktiannya di gedung Sekolah Dasar Sri Wedari, Jl. Teratai III/41 Perumnas I, Bekasi.

Kerinduan untuk memiliki tempat ibadah yang permanen juga dirasakan oleh warga jemaat Wilayah Bekasi. Kelompok warga jemaat yang semakin banyak berdampak pada bertambahnya kegiatan warga jemaat. Berbagai kegiatan ini ditangani dan dikoordinir oleh pengurusnya masing-masing yang didampingi oleh satu atau dua orang anggota majelis sebagai pendamping. Dengan pola seperti itu, setiap kegiatan akan bisa dievaluasi dan sekaligus dilaporkan pertanggungjawabannya kepada majelis Wilayah Bekasi pada akhir tahun. Hasil evaluasi atau laporan pertanggungjawabannya dapat diketahui oleh para warga jemaat diseluruh Wilayah Bekasi. Demikianlah pola pelayanan dan koordinasi pelayan yang ada di Wilayah Bekasi. Kebutuhan tempat untuk beraktivitas mendorong warga jemaat untuk merealisasikan mempunyai tempat ibadah permanen.

Ibadah di SLB SriwedariPada 25 Agustus 1995, wilayah Bekasi didewasakan menjadi GKJ Bekasi oleh GKJ Jakarta. Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th menjadi pendeta konsulen GKJ Bekasi. GKJ Bekasi sudah menjadi gereja dewasa, namun masih dalam proses memperlengkapi gedung gereja. Berjalannya waktu warga jemaat mempunyai tempat ibadah yang layak untuk aktivitas pelayanan dan kebaktian warga jemaat. Setelah pendewasaan itu, muncul lagi kerinduan warga jemaat untuk mempunyai pendeta. Kemudian Panitia BPPG meminta Pdt. Suwandi  Martoutomo, S.Th yang menjadi pendeta pertama GKJ Bekasi. Akhirnya pada 27 Juli 1997, Pdt. Suwandi Martoutomo, S.Th  diteguhkan menjadi pendeta pertama di GKJ Bekasi.

Proses pemanggilan Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th menjadi pendeta pertama di GKJ Bekasi menjadi hal yang menarik. Jemaat menghendaki memanggil Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th yang menjadi pendeta konsulen dari GKJ Jakarta. GKJ Bekasi tidak memanggil calon pendeta yang baru lulus dari sekolah teologi seperti yang biasa dilakukan oleh GKJ yang sudah didewasakan. Menjadi pendeta konsulen selama beberapa tahun, menimbulkan kepercayaan dan pandangan Pemimpin Gembala dalam diri Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th.

Mempunyai pemimpin jemaat yang sudah berpengalaman, kemungkinan menjadi pertimbangan oleh warga  jemaat GKJ Bekasi. Sudah tidak “membentuk” lagi karena sudah “terbentuk”. Seorang pendeta dengan tipe kepemimpinan Gembala pada diri Pdt. Suwandi Martautomo S.Th tepat pada situasi dan kondisi di awal kemandirian GKJ Bekasi. GKJ Bekasi ingin melanjutkan hubungan dengan pendeta konsulen yang sudah bisa dipercaya mampu melanjutkan perjuangan GKJ Bekasi, menata hal-hal yang belum tertata dengan baik. Bimbingan Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th dirasakan dan diharapkan oleh seluruh jemaat. Jemaat melihat apa yang ada dalam diri Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th sebagi seorang pemimpin yang mampu membimbing sehingga terjadilah penyerahan diri yang total kepada gembalanya.

Pemimpin Gembala didorong dengan keutamaan cinta kasih. Kepemimpinan yang didorong oleh cinta kasih: memiliki visi untuk melihat bakat, potensi, dan harkat setiap pribadi; memiliki keberanian, gairah, dan komitmen untuk membuka kunci potensi; kesetiaan dan dukungan satu sama lain sebagai hasilnya, yang menyemangati dan mempersatukan tim. Ada kemungkinan Pdt Suwandi Martoutomo S.Th juga melihat bakat, potensi, komitmen jemaat GKJ Bekasi sehingga gayung pun bersambut. Antara harapan jemaat dengan apa yang ada pada jemaat bisa dipersatukan. Sehingga pemimpin dan yang dipimpin bisa bersama-sama berjalan beriringan. Kepemimpinan Gembala menghasilkan loyalitas dari pihak yang dipimpin.

Pdt. Suwandi Martoutomo S.Th tidak sendiri memimpin warga jemaat GKJ Bekasi, Majelis GKJ Bekasi juga mempunyai peran dalam memimpin. Majelis bertanggung jawab mengurus warga jemaat. Oleh karena itu di dalam diri anggota Majelis tidak hanya memiliki kepemimpinan Pengurus, tetapi juga kepemimpinan Pelayan. Sebagai pemimpin Pengurus seorang pemimpin harus memiliki karakter dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan mampu mempertanggungjawabkan tugasnya. Bertanggung jawab tidak hanya pada tugas yang dipercayakan namun juga mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan sebagaimana janji mereka pada waktu diteguhkan menjadi majelis.  Anggota majelis harus mampu menjadi orang kepercayaan  dalam hal menjaga rahasia berkaitan dengan jabatan yang diemban.

majelisKepemimpinan Pelayan memberdayakan orang melalui teladan, bimbingan, kepedulian, pemahaman, kepekaaan, kepercayaan, apresiasi, dorongan semangat, penguatan dan visi bersama. Dalam diri anggota majelis, terdapat juga kepemimpinan Pelayan. Sebelum ministerium datang ke jemaat atau pun sebaliknya, jemaat akan berhubungan dengan majelisnya. Beberapa pergumulan yang dihadapi oleh warga jemaat misalnya, sakit, kedukaan, masalah keluarga, ekonomi, pernikahan, kelahiran, baptis, sidi, diberitahukan terlebih dahulu kepada majelis, baru keministerium. Jika dalam diri majelis tidak ada kepedulian, kepercayaan, kepekaan, dorongan penguatan, bagaimana kepemimpinan Pelayan bisa terlaksana.

GKJ Bekasi dalam pertumbuhan dan perkembangannya mempunyai banyak kelompok. Setiap kelompok mempunyai pengurusnya masing-masing yang terdiri dari ketua, bendahara, dan sekertaris. Pengurus kelompok membantu Majelis menjalankan kepengurusan dikelompoknya masing-masing. Ada tipe kepemimpinan Pengurus pada diri pengurus kelompok. Pengurus kelompok, majelis, ministerium menjadi contoh pemimpin-pemimpin di gereja. Masing-masing mempunyai kecenderungan tipe kepemimpinan yang berbeda satu dengan yang lain. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi dimana masing-masing pemimpin menjalankan perannya.