Berlari Sambil Membawa Beban
Saat Ayahku masih muda, ia pernah merasa kecewa dengan hidup ini. Ayahnya tidak menyediakan kebutuhannya dengan baik. Seringkali Ayahku tidur dengan perut keroncongan karena lapar. Ayah juga pergi ke sekolah tanpa mengenakan sepatu. Dia menjadi bahan ejekan teman-temannya di sekolah.
Kakak ayahku yang saat itu berumur 17 tahun tewas dalam sebuah kecelakaan. Ayahku yang saat itu berusia 14 tahun semakin terpuruk. Hidupnya seakan penuh dengan hantaman. Ketika ia punya kesempatan untuk melarikan diri dari semuanya itu, Ayah justru membuat keputusan lain.
Ayah bisa lari atau melakukan tindakan berbeda. Dia pun memilih yang kedua. Dia mengambil sebuah batu ladung dari kotak peralatan memancing milik ayahnya, meleburnya, lalu membentuknya menjadi plat. Kemudian dia menuju tepi sungai di dekat rumahnya, menaruh plat tersebut di alas sepatunya, dan berlari melintasi pasir. Dia berlari dan terus berlari. Setelah merasa cukup kuat, ia mengambil plat tersebut dari alas sepatunya—yang tentu saja cukup berat—lalu mulai berlari lagi. Kali ini, dia berlari jauh lebih kencang.
Tahun berikutnya Ayah memutuskan untuk ikut tes masuk tim futbol meskipun mendapat olok-olok dari teman-temannya. Jelas saja sang pelatih terkejut melihat Ayah berlari. Ayah pun diterima dalam tim tersebut dan menempati posisi running back (pemain dalam futbol yang bertugas membawa bola selama permainan berlangsung).
Di awal tahun 2008 saya mendengar Tuhan memberitahu saya, “Sue, ketika kamu berlari sambil membawa beban, maka ketika beban tersebut hilang, kamu akan terkejut dengan betapa cepatnya dirimu bisa berlari—seperti yang ayahmu lakukan.” Saya tidak tahu bahwa pesan itu berkaitan dengan apa yang terjadi pada saya lima tahun kemudian. Tetapi Tuhan sudah mempersiapkan saya sebelum Ia membawa saya ke dalam perjalanan penuh luka dan penderitaan.
Baru-baru ini saya mencari tahu arti kata “batu ladung” di kamus. Batu ladung adalah timah untuk memberati kail atau jala supaya tenggalam di dalam air.
Saya percaya Tuhan sedang mengajarkan bahwa apabila kita berlatih untuk berlari sambil membawa beban yang bisa “menenggelamkan” kita, maka kita akan terpana dengan kemampuan kita berlari ketika beban tersebut diambil. Seperti yang dilakukan Ayah saya—berlari membawa plat berat di alas sepatunya—kitapun sanggup melakukannya dalam cara yang lain.
Beban-beban yang kita temui dalam hidup ini tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan kita. Sebaliknya, itu semua dapat membangun kita. Para atlet sadar akan teori ini. Mereka mengangkat beban berat untuk membentuk otot. Demikian juga kita, dengan pertolongan Allah beban-beban seperti kehilangan orang terkasih, penyakit, masalah keuangan dan rumah tangga, kehilangan pekerjaan, dll justru dapat memperkuat diri kita.
…di dalam tangan-Mulah kuasa dan keperkasaan, dan di dalam tangan-Mulah yang menjadikan besar, dan memberi kekuatan untuk segalanya. (1 Tawarikh 29:11, MILT)
Kita bisa memilih untuk melarikan diri atau tetap berlari meskipun sambil membawa beban. Jika kita memilih yang kedua, itu berarti kita tetap berjalan meskipun dalam pederitaan, luka, kesendirian, dan ketakutan. Juga sekaligus tetap berdoa, membaca Firman Tuhan, dan memperkatakan janji-janji Allah atas hidup kita. Beban-beban yang berat itu pada akhirnya akan hilang dan kita akan mendapatkan kekuatan yang sebelumnya tidak kita miliki.
Seperti seorang atlet saya menggembleng tubuh saya, melatihnya melakukan hal-hal yang harus dilakukan dan bukan hal-hal yang dikehendakinya. Sebab, kalau tidak, saya takut kalau-kalau setelah mempersiapkan orang-orang lain untuk perlombaan, saya sendiri dinyatakan tidak memenuhi syarat, lalu ditolak. (1 Korintus 9:27, FAYH)
Sumber: Sue Bohnert : Jawaban.com