MENGENAL TAHUN-TAHUN GEREJAWI : KENAIKAN TUHAN YESUS
KENAIKAN TUHAN YESUS
Kenaikan Tuhan Yesus biasanya diperingati 40 hari setelah perayaan Paskah. Dengan kenaikan-Nya ke sorga, Kristus diakui sebagai Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuan, dengan segala kemuliaan, kekuasaan dan pemerintahan sorgawi. Dari sanalah kelak, Ia akan datang ke-2 kali dengan cara sebagaimana kenaikan-Nya (Kis. 1:11). Peringatan Kenaikan Tuhan Yesus ini masih dalam kerangka Minggu-minggu Paskah sehingga tetap menggunakan simbol lilin putih.
HARI RAYA PENTAKOSTA DAN RIYAYA UNDHUH-UNDHUH
Pada awalnya, Hari Raya Pentakosta bermakna pengucapan syukur umat Israel atas hasil panen gandum. Perayaan tersebut dirayakan selama tujuh minggu (dalam bahasa Yunani Pentakosta berarti: kelima puluh) setelah Paskah Israel, yakni pada masa-masa akhir penuaian gandum. Sebab itu Hari Raya Pentakosta juga dikenal dengan nama “hari raya Tujuh Minggu” (Ul. 16: 10). Minggu-minggu pesta tersebut juga dihubungkan dengan pemberian 10 hukum Tuhan kepada Musa di gunung Sinai. Umat Yahudi melihat peristiwa tersebut sebagai momentum secara moral dan spiritual bagi lahirnya bangsa Yahudi.
Dalam Perjanjian Baru, Hari Raya Pentakosta dihubungkan dengan turunnya Roh Kudus (Kis. 2). Paska kenaikan Yesus ke sorga, para murid terus berdoa dalam persekutuan mempersiapkan diri untuk menyambut hadirnya Roh Kudus yang sudah dijanjikan Yesus (Kis. 1: 12-14). Dan, pada hari kesepuluh setelah kenaikan Yesus, atau pada hari kelima puluh setelah kebangkitan Yesus/Paskah Kristen, Roh Kudus dicurahkan kepada para murid dan para pengikut Kristus. Mereka, termasuk rasul Petrus, mewartakan berita keselamatan dalam nama Yesus kepada banyak orang dari berbagai bangsa sampai kemudian 3000 orang percaya dan dibaptis (Kis. 2). Dari situlah terjadi perluasan makna terhadap Hari Raya Pentakosta. Kalau semula menunjuk pada syukur atas panenan hasil bumi (dimensi fisik), maka oleh gereja dikembangkan menjadi hari pengucapan syukur atas karya Roh Kudus dan panenan jiwa (dimensi rohani). Dengan karya Roh Kudus dan panenan jiwa tersebut, Hari Raya Pentakosta sering juga dianggap sebagai momentum kelahiran gereja (bdk. Kesejajarannya dengan lahirnya bangsa Yahudi!). Simbol yang digunakan dalam ibadah Pentakosta antara lain lilin warna merah, burung merpati berwarna perak (sedang menukik = simbol pencurahan Roh Kudus), serta lidah-lidah api. Warna merah melambangkan api dan semangat Roh Kudus, perjuangan pengorbanan, kekuatan dan keberanian bersaksi.
Begitu berharganya momentum tersebut sehingga setiap merayakan Pentakosta, gereja-gereja Kristen Jawa meneruskan tradisi momentum Pengucapan Syukur di atas dalam bentuk Riyaya Undhuh-undhuh (perayaan syukur atas panenan hasil bumi). Biasanya warga jemaat diberi kesempatan mempersembahkan hasil bumi mereka kepada Tuhan. Di banyak gereja, hasil bumi tersebut kemudian dilelang dan hasil pelelangan tersebut untuk mendukung pelayanan gereja tersebut. Namun bagi jemaat di perkotaan yang bukan daerah agraris, bentuk persembahan khususnya tentu tidak harus berupa hasil bumi, tetapi disesuaikan dengan ‘berkat Tuhan’ yang diterima, entah dalam bentuk uang atau barang.
Sayangnya, seringkali pengucapan syukur yang diwujudkan dalam bentuk persembahan khusus tersebut lebih terfokus pada ucapan syukur atas ‘panenan fisik/jasmani/hasil bumi.’ Hal ini tentu tidak keliru. Namun jangan sampai kita melupakan fokus pengucapan syukur kita yang UTAMA yakni syukur atas karya Roh Kudus melalui Para Rasul yang telah membawa banyak orang mengikut Yesus (panenan rohani). Semoga Pentakosta tahun ini mendorong kita untuk sungguh-sungguh mensyukuri karya Roh Kudus atas gereja-Nya dan kita semakin disemangati untuk berani bersaksi mewartakan kasih Kristus kepada semua orang.