Menu

Natal
Warna Warni Ritual Natal dan Tahun Baru di Indonesia

nobanner
merry_xmas_2-wallpaper-1152x720Serupa dengan hari besar lain, saat Natal dan Tahun Baru keluarga-keluarga Indonesia  biasanya menyambutnya dengan beragam warna warni ritual. Salah satu tradisi yang tak pernah hilang adalah momen pertemuan besar bagi keluarga yang anggotanya sudah menyebar di berbagai tempat. Conny misalnya, meski sudah sekitar lima tahun tinggal di Jakarta, tetap menjadikan saat itu sebagai waktu kumpul keluarga. Meski “ritual” Natal tak sama persis dengan ketika dia tinggal di Ambon.

“Pada malam Tahun Baru, yang paling khas di Ambon adalah bunyi lonceng gereja dan stoom (sirene) kapal. Itu yang menandakan pukul 00.00. Di Jakarta, itu tak ada lagi, hanya acara kumpul keluarga yang tetap ada. Ayah yang memimpin doa,” kata Conny.

Saat Tahun Baru juga menjadi waktu spesial bagi sebagian orang asal Batak. Pensiunan pendeta (Pdt) Huria Kristen Batak Protestan DR Sountilon Mangasi Siahaan bercerita, saat kumpul keluarga ini juga dijadikan wadah untuk anak-anak saling mengaku kesalahan kepada orangtua.

Sebagian lainnya mengungkapkan harapan pada tahun mendatang. Pengakuan dan harapan itu biasanya dimulai dari anak termuda, berturut-turut dilakukan anggota keluarga lain sampai berakhir pada orang yang usianya paling tua.

“Pada saat itu suasananya luar biasa. Ada yang bisa sampai menangis, adu mulut juga sering terjadi. Tetapi pada akhirnya kita semua saling memaafkan,” ujar Siahaan. Acara itu biasanya ditutup doa. Selanjutnya, anggota keluarga baru keluar rumah, bersilaturahmi dan saling memaafkan dengan para tetangga.

Kumpul keluarga saat Natal dan Tahun Baru selain dijadikan kesempatan bersilaturahmi, juga diharapkan bisa mengingatkan orang untuk berbuat lebih baik pada tahun yang baru. Kebiasaan ini juga untuk mengajarkan generasi muda agar tetap menghormati orangtua.

Menurut pengajar Theologia pada Universitas Pelita Bangsa Jakarta itu, kebiasaan kumpul keluarga pada malam Tahun Baru diadopsi dari tradisi Eropa. Kebiasaan ini dibawa ke Tanah Air melalui Nomensen, seorang misionaris Protestan yang masuk ke tanah Batak. 

Kuburan

Pergantian tahun sebagai saat yang dianggap tepat untuk introspeksi diri dengan berbagai bentuk itu, juga dirasakan sebagian warga Kecamatan Kakas, Sulawesi Utara. Tine Sanger-Kalalo (52), warga Dusun V Tonelet, Kecamatan Kakas, Sulawesi Utara, bercerita, sejak dia masih kecil pergantian tahun justru dilakukan hampir seluruh warga di kuburan.

“Sewaktu saya masih kecil, setiap malam Tahun Baru semua orang pergi ke kuburan. Kami membawa serta kue kering, nasi jahe, dan minuman. Om-om dan para pemuda membawa rokok,” kata Tine.

Suasana di kuburan yang biasanya sepi, malam itu jadi meriah. Kue, minuman, dan rokok sebagian besar dinikmati orang, dan sebagian lagi sengaja ditinggalkan di kuburan. Ini berkaitan dengan kepercayaan sebagian orang yang menganggap kue, minuman, dan rokok pada malam Tahun Baru juga bisa dirasakan oleh mereka yang sudah wafat.

Olvie Watung-Raranta (38) menambahkan, di Desa Koyawas, Minahasa Selatan, tempat kelahirannya, tradisi ke kubur pada Tahun Baru dilakukan pada pagi hari, sekitar pukul 04.00.

“Masalahnya, lokasi kuburan ada di Desa Walewangko. Dari Desa Koyawas ke Walewangko itu cukup jauh. Kalau kami berjalan kaki, bisa sekitar 20 menit dan harus melewati kebun,” ujar Olvie.

Menurut Pdt Dwita Rembet yang tinggal di Kayuuwi, Minahasa, tradisi ke kuburan pada malam Tahun Baru merupakan ziarah. “Malam Tahun Baru dianggap sebagai waktu yang tepat untuk introspeksi sekaligus mengenang keluarga yang sudah meninggal,” kata Dwita.

Geebert (26), warga Bahu, Manado, menambahkan, sehari menjelang Natal biasanya keluarga sudah membersihkan dan mendandani kuburan ayah dan opa mereka dengan lampu hias. 

Pergeseran 

Namun kini, menurut Tine, kebiasaan merayakan Tahun Baru di kuburan sudah mulai bergeser. Hanya sebagian orang muda yang masih meneruskan tradisi itu, sedangkan para orang tua biasanya memilih waktu ziarah pukul 04.00, sebelum pergi ke gereja.

Sementara tradisi kumpul keluarga, mengakui kesalahan, menyatakan harapan, dan saling memaafkan pada keluarga Batak umumnya masih dilakukan. Meskipun, kata Siahaan, suasananya tak lagi sama dengan apa yang dirasakannya 20-30 tahun lalu.

“Di rumah ini saja, masing-masing anak saya sudah punya keluarga sendiri. Kalau Natal di rumah orangtua, berarti mereka bertahun baru di rumah mertua masing-masing. Kalau tahun ini mereka kumpul di sini, tahun depan kumpul di keluarga mertua,” tutur Siahaan.

Kesibukan masing-masing anggota keluarga yang sering kali menjadi kendala untuk berkumpul, meski hanya saat Natal dan Tahun Baru sekalipun. Bagaimanapun, sayang rasanya kalau kebiasaan itu lama-kelamaan makin menghilang, dengan alasan sibuk. Bahkan tak ada waktu, meski hanya satu-dua kali dalam setahun.

Sumber : Kompas.com/Jawaban.com

Comments

comments