YLPHS: KEBEBASAN BERAGAMA
KEBEBASAN BERAGAMA ADALAH HAK SETIAP UMAT MANUSIA
( Oleh ; Ellys Sudarwati. SH, YLPHS )
Negara Indonesia adalah negara yang plural dalam hal agama dan aliran kepercayaan. Kendatipun demikian, di tengah realitas yang pluralistik tersebut hadir juga denominasi besar yang menjadi golongan mayoritas di negeri ini. Adanya golongan mayoritas dalam suatu negara terkadang selalu menimbulkan kekuatiran di kalangan minoritas akan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas. Peta sejarah bangsa ini sejak kemerdekaannya hingga beberapa tahun terakhir ini diwaranai juga tendensi tirani mayoritas terhadap minoritas. Isu-isu SARA yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok radikal telah menimbulkan luka yang dalam bagi sebagian anak bangsa. Tengok saja mulai dari kerusuhan Poso, Ambon, peristiwa pembakaran berbagai fasilitas umum termasuk rumah-rumah ibadat Katolik dan Kristen yang terjadi tahun 1996 di Situbondo dan Majalaya, penutupan secara paksa berbagai rumah ibadat seperti Bukit Duri, sampai dengan usaha gencar pemberlakuan Syariat Islam di negara Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta menganut sistem pemerintahan yang demokratis. Terakhir yang masih segar dalam ingatan kita, kehadiran Ahmadiah yang dilihat sebagai batu sandungan. Dari rangkaian fenomena tersebut, lantas kita bertanya: apakah bangsa Indonesia tidak menghargai realitas pluralisme agama dan kebenaran yang terkandung di dalamnya? Apakah bangsa Indonesia tidak menghargai kebebasan beragama antar para warganya?
Kebebasan beragama berarti kebebasan orang untuk memilih dan masuk kedalam agama yang ingin dianutnya, juga berarti kebebasan orang untuk keluar dari agama yang saat ini sedang dianutnya untuk pindah keagama lain yang menurut pilihan hatinya adalah tepat bagi dirinya. Hak Asasi Manusia untuk berpindah agama ini dengan jelas tertuang dalam Deklarasi HAM Universal PBB yang mengatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, mempraktekkannya, melaksanakan ibadahnya dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.” Sedang di Indonesia kebebasan beragama tertuang didalam konstitusi UUD 45.
Berbagai peristiwa kekerasan bernuansa agama yang terjadi belakangan ini seakan menggoda untuk membandingkan masa reformasi sekarang dengan masa (Alm) Presiden Soeharto. Pada masa Orde Baru sulit dibayangkan aparat negara segan menindak organisasi massa anarkis seperti yang terlihat saat ini. Peran negara saat itu begitu kuat, tidak terkecuali dalam hal sesensitif kehidupan beragama dan pendirian rumah ibadah.
Pada masa SBY, pencideraan terhadap kebebasan beragama juga belum berhenti. Singkatnya, ketika otoritarianisme tumbang dan demokrasi lahir, negara sepertinya gamang memutuskan untuk terlibat atau lepas tangan dalam berbagai isu sensitif. Persoalannya, apakah demokrasi -dan kebebasan sipil yang dijunjungnya- mengharuskan negara absen dari masyarakat?
Kapasitas negara adalah untuk memampukan penegak hukum dan juga memberikan jaminan keamanan serta kapasitas pelayanan publik dan jaminan sosial, dalam kontek kebebasan beragama, hal ini negara harus menjamin keamanan adalah hal yang paling releven.
Satu hal esensial dalam negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah hak berpendapat. Termasuk dalam hal ini adalah hak menolak kehadiran rumah ibadah. Demokrasi memberi ruang bagi warga negara untuk dapat saling membenci. Ia tidak mensyaratkan setiap individu harus begini atau harus begitu. Ia memberi kebebasan dan di mana ada kebebasan di sana ada konflik dan pertentangan.
Sebaliknya, demokrasi lebih banyak bicara tentang bagaimana negara dan sistem mengelola tensi yang ada dalam masyarakat. Perangkat negara mulai dari birokrasi hingga aparat keamanan merupakan alat yang harus dipakai untuk mengelola tensi itu.
Menilik kasus pelanggaran kebebasan beragama dan sulitnya pendirian rumah ibadah belakangan ini, kita dapat melihat bahwa negara telah gagal menjalankan kapasitas pertamanya, yaitu perlindungan hukum dan keamanan. Dalam kasus seperti HKBP Depok dan GKI Bogor, negara tunduk pada massa dengan mencabut kembali ijin yang telah dikeluarkan. Dalam kasus lain seperti HKBP Pondok Timur, negara seperti tak kuasa memberi solusi dan jalan tengah. Aparat keamanan pun tak berdaya mengamankan beberapa kali ibadat yang berujung pemukulan.
Hal ironisnya adalah, perkembangan terkini menunjukkan bahwa organisasi massa radikal sebenarnya masih segan kepada negara, dengan catatan negara bersikap tegas dan berwibawa. Hal ini dapat dilihat antara lain dari sikap salah satu ormas yang buru-buru melakukan klarifikasi pasca Kapolri menyarankan pembubaran ormas anarkis. Pertanyaannya kemudian, apakah negara mau menjaga wibawanya sendiri? Apakah para pemimpin kita mau pasang badan untuk isu sesensitif ini? Salah total bila pemerintah memandang demokrasi meminta minimnya campur tangan pemerintah. Sebaliknya, justru dalam demokrasi, tensi dan konflik sosial akan abadi. Di sanalah pemerintah harus hadir untuk menjadi penengah dan pelindung.
Sejarah mencatat, setiap muncul agama baru biasanya akan diikuti dengan penentangan oleh agama lama. Ketika Nabi Isa lahir, ia dimusuhi oleh pendeta-pendeta Yahudi, hingga akhirnya disalib. Penentangan atas nama agama ini tidak hanya berlaku diantara agama-agama Ibrahim saja, tetapi seluruh agama Permusuhan itu dilakukan semata-mata atas nama agama, dan termasuk sebagai bentuk kekerasan. Penentangan ini bukan hanya dilakukan terhadap agama baru, melainkan juga terhadap sekte-sekte baru yang berbeda dengan sekte mainstream. Setiap sekte baru akan dimusuhi oleh aliran yang sudah pakem. Inilah kenyataan sejarah agama. Dalam tradisi Kristen, saat lahirnya Protestan menimbulkan pertentangan hebat hingga berdarah-darah dan memakan korban selama puluhan tahun. Umat Protestan dianggap membuat paham atau agama baru. Seseorang bisa membunuh atau melukai orang lain sebab perbedaan faham atau keyakinan agama. Persoalan teologis ini sudah dicampuri dengan kepentingan politis. Kasus lainnya terjadi dalam konteks klaim penyalahgunaan atau penodaan agama.
Problemnya apakah kekerasan tersebut berasal dari teks agama ataukah problem penafsiran belaka yang disebabkan ambivalensi teks agama?
Pasti itu problem penafsiran. Bila orang-orang yang melakukan kekerasan agama ditanya, mereka pasti menjawab bahwa mereka tidak bermaksud melakukan kekerasan. Namun, implikasi dari penafsiran yang eksklusif berdampak pada sikap keberagamaan yang kaku dan fanatik pada penafsiran aliran atau sekte sendiri. Mereka menganggap bahwa tafsir itu tunggal dan milik mereka sendiri. Padahal, kitab suci sangat terbuka untuk beragam tafsir.
Bagaimana cara membedakan mana faktor yang lebih dominan dalam kasus kekerasan, antara faktor agama ataukah faktor politik, manakala agama masuk ke dalam ranah politik?
Untuk menganalisis hal tersebut, maka harus diperiksa terlebih dahulu bagaimana faham teologisnya. Misalnya, dalam kasus Ahmadiyah, ada orang yang faham teologisnya tidak anti Ahmadiyah, akan tetapi secara politis dia mendukung isu anti Ahmadiyah. Bahkan, bisa jadi dia sebenarnya tidak paham bagaimana sebetulnya teologi Ahmadiyah. Jadi, harus dilihat bagaimana basis teologis yang dianutnya. Apakah eksklusif atau pluralis. Di samping itu, juga harus dilihat per kasus. Contoh dalam kasus konflik di Maluku. Sangat jelas bahwa agama memang menjadi faktor utama konflik itu, namun harus dilihat lagi bahwa memang ada kelompok-kelompok yang sengaja memainkan isu agama itu demi kepentingan politisnya. Inilah contoh di mana saat faktor politis satu suara dengan faktor agama, sehingga menampakkan bentuk kekerasan yang nyata. Namun, sekali lagi, kita harus memperhatikan secara partikular kasus per kasusnya, dan karenanya tidak bisa digeneralisir.
Kadang beberapa kasus bernuansa agama seringkali dikaitkan dengan pasal penodaan agama,
hal ini harus ada dialog antar agama dan intra agama dan beda faham. Tapi, memang dialog tidaklah mudah, sebab ada kelompok-kelompok atau orang yang tertutup. Untuk jangka panjang, saya kira level pendidikan yang harus dibenahi. Pendidikan yang diajarkan kepada para siswa yang mengajarkan kebencian pada kelompok lain kan masih banyak. Praktik pendidikan yang seperti ini seharusnya dibenahi. Hal lainnya, kondisi sosial-ekonomi masyarakat harus diatasi juga. Sebab, banyak orang-orang miskin dan menganggur yang sangat mudah diprovokasi, bila mereka dibayar dengan sedikit uang saja, mereka bersedia untuk melakukan berbagai aksi anarkis. Jadi, memang banyak unsur yang mempengaruhi terjadinya kekerasan atas nama agama. Tingkat pendidikan masyarakat juga sangat berpengaruh. Di samping juga, unsur politis yang sengaja menggunakan isu agama untuk merebut kekuasaan. Agama bisa dijadikan komoditas politik yang efektif. Kesemua faktor-faktor tersebut harus berjalan bersamaan dan berkesinambungan.
Jadi, bisa kita disimpulkan bahwa tidak mungkin agama secara natural mengajarkan kekerasan dan juga bisa disimpulkan juga bahwa agama tidak pernah dapat terpecahkan, Sebab, tidak akan ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Tapi, biarpun demikian, kita jangan berpihak pada kejahatan. Kita juga tidak mungkin menyatukan sebuah perbedaan, terlebih perbedaan faham agama. Tafsir itu tidak tunggal. Kategori kekerasan juga tidak hanya berupa kekerasan fisik saja. Mengancam keyakinan orang lain juga termasuk kategori kekerasan. Bayangkan saja, kita menganut sebuah faham, lalu faham yang kita yakini itu dilarang oleh orang lain. Itu kan jelas kekerasan. Ketika seseorang melarang orang lain, Demokrasi tanpa kebebasan sipil”, demikian istilah yang melekat untuk Indonesia dengan iklim kehidupan sosial politiknya. Apalagi jika kita menyoroti kondisi kehidupan beragama, kebebasan agaknya merupakan sebuah “barang langka”. Karena melaksanakan sholat dua bahasa Usman Roy harus mendekam dalam penjara, perlakuan yang sama juga dialami oleh Lia Aminuddin sebagai pemimpin “komunitas eden” karena dianggap sebagai nabi palsu. Belum lagi teror fisik dan penyerangan yang dilakukan terhadap Jamaah Ahmadiyah, serta kasus terakhir yang belakangan ini menimpa Ahmad Mushadieq dengan ajaran al-qiyadah al-Islamiyahnya. Seluruh catatan-catatan fenomena tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negeri yang belum cukup longgar terhadap kebebasan beragama. Padahal, Indonesia merupakan negeri pancasila yang mencerminkan “keanekaragaman” dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya.
Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Undang-undang tersebut diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani.
Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap-hak-hak tersebut belum terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka.
Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan “macan kertas” yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan , tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semestinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malahtidak berguna sama sekali.