GP Ansor: Tuduhan Komunis Hanya Adu Domba untuk Hambat Laju Jokowi-JK
Ketua Umum GP Ansor Nusron Wahid mengungkapkan bahwa menuduh manusia modern Indonesia setiap berbeda pendapat, dengan sebutan komunis selain menyakitkan juga tidak relevan mengingat sekarang ini sudah terjadi bauran kultural yang luar biasa.
“Secara geneologis mungkin dulu ada yang keluarganya diasosiasikan dengan PKI atau apapun. Tapi manusia Indonesia hari ini sudah tidak mengenal istilah itu. Banyak cucu aktivis PKI, yang jadi santri bahkan jadi kIai. Sebab ideologi itu sudah lama hilang dan tidak laku dalam kontek demokratisasi,” kata Nusron, Kamis (3/7/2014).
Menurut Nusron, komunisme di Eropa Timur saja sudah mati, dan kini menjadi menjadi demokratis. Bahkan di Cina sendiri tinggal menjadi faksi politik. Tapi secara ekonomi juga sudah sangat liberal dan membuka diri.
“Terus apa relevansinya zaman begini menuduh orang yg berbeda politik dengan komunis? Tuduhan komunis juga sama menyakitkannya setiap ada gerakan keagamaan yg berbeda dg maisntream dianggap NII, DI/TII dan sebagainya,” jelasnya.
Jadi, menurut Nusron, cara-cara politik adu domba dengan tudingan komunis sebenarnya hanya karena untuk menghambat laju elektabilitas Jokowi-JK dengan sebutan komunis. Padahal, dengan cara-cara mengadudomba seperti itu, justru dipertanyakan.
“Yang komunis itu yang suka adu domba. Menghalalkan segala cara. Menuduh orang Kristen padahal muslim. Menuduh keturunan cina, padahal Jawa asli. Justru inilah watak-watak dan kelakuan komunis sejati,” ujarnya.
Sebenarnya, kata Nusron, di antara anak-anak korban kekerasan politik baik PKI, DI/TII, sudah sama-sama melupakan masa lalu, bahkan membuat forum rekonsiliasi anak bangsa.
“Melupakan masa lalu untuk menatap masa depan. Menjadikan masa lalu sebagai pembelajaran, dan komitmen tidak akan ada konflik horizontal. Termasuk diantaranya keluarga besar banser dan keluarga mantan PKI,” terangnya.
Bahkan, lanjut dia, sebagian anak-anak bekas PKI ada yang diambil menjadi anak angkat dan menjadi warga NU dan Ansor dengan baik dan soleh.
“Tapi kalau masalah ini diangkat lagi, justru akan mengganggu agenda rekonsiliasi nasional, dan kembali memicu konflik horizontal,” tukasnya.
Nusron mempertanyakan, apakah hanya dengan sebutan Revolusi Mental, petugas partai kemudian dianggap komunis?
“Kok terlalu naif. Apakah kalau ada yg nyebut istilah Arab, kemudian kita tuduh Taliban?,” ungkapnya.
“Memang mental dan akhlak bangsa Indonesia sudah rusak. Orangnya baru, tapi gaya, cara berpikir dan bertindak masih gaya lama. Mental seperti ini memang harus direvolusi. Terus kalau revolusi mental saya ganti bahasa arab tazkiyatunnafsi, kemudian menjadi Islami?. Sungguh naif,” tambahnya.
Atas dinamika politik, dimana ada pihak yang coba mengadudomba, menggunakan berbagai cara untuk menahan laju Jokowi-JK, maka media massa sebaiknya tidak terlalu gampang membuat judgment atau tuduhan dengan memvonis komunis secara gampang, apalagi tanpa konfirmasi kepada sumber-sumber yang relevan.
Media itu merupakan media publik, yang harus fair dan menjadi alat pendidikan politik, bukan dijadikan sarana mengadu domba dan menuduh orang yang tanpa dasar.
“Media semacam ini, jelas tanpa keadaban, dan pelanggaran berat. Kami minta agar KPI memberikan sanksi seberat-beratnya, kalau perlu mencabut ijin operasinya,” pungkasnya.
sumber : www.tribunnews.com