Teaching
Ekspresi Kasih Sejati Dalam Persekutuan
Minggu, 7 September 2014
Bacaan : Matius 18 : 15 – 20 & Roma 13 : 8 – 14
Ekspresi Kasih Sejati Dalam Persekutuan
Pada sebuah rapat majelis gereja, hadir para penatua, diaken, pendeta, dan seorang calon pendeta yang belum ditahbis. Ketika hendak duduk di kursi yang sudah dipersiapkan, tiba-tiba ketua majelis melarang si calon pendeta berada di meja yang sama dengan alasan si calon pendeta belum ditahbis. Walau agak tersinggung, si calon pendeta pun duduk di kursi di luar meja utama. Namun melalui berbagai pertimbangan dan diskusi yang cukup alot, akhirnya si calon pendeta diperbolehkan duduk semeja dengan anggota majelis. Belum sempat rapat dimulai, ketua majelis itu kembali berpesan, “Saudara calon pendeta tidak memiliki hak suara dalam persidangan.” Si calon pendeta pun pasrah. Bayangkan, untuk beberapa bulan si calon pendeta hidup dalam pelayanan sekaligus tekanan birokratis dalam gereja tersebut.
Pada kesempatan rapat yang lain, si calon tetap belum memiliki hak suara. Rapat kali itu membahas tentang penggembalaan khusus (pamerdi) yang sedang dilakukan majelis gereja kepada salah satu anggota jemaat. Fakta demi fakta, pendapat demi pendapat dibeberkan. Akhirnya rapat itu menjatuhkan sanksi bagi si berdosa (umat yang diyakini telah melakukan kesalahan). Kesempatan yang lain lagi, mereka mengadakan rapat yang lain dari biasanya. Rapat berlangsung, dan terkuaklah fakta, bahwa orang yang dulu disangka telah melakukan dosa ternyata tidak bersalah sama sekali. Majelis berdiskusi untuk mengambil langkah selanjutnya. Keputusan hampir diambil. Ketua majelis mengusulkan untuk tetap meneruskan proses pamerdi kepada yang bersangkutan demi menjaga kehormatan majelis. Si calon pendeta itu berpikir sejenak, dan seolah habis kesabarannya, ia menggebrak meja dan dengan lantang bicara, “Ini sudah kebablasan!” Saudara/i majelis harus sadar bahwa ini gereja Tuhan, bukan kumpulan pendusta yang harus tampil seperti malaikat.” Kisah itu adalah cerminan gereja yang terjebak pada urusan birokrasi, penghakiman, peraturan, dan ingin menang sendiri.
Hukum vs Kasih
Baik dalam Injil Matius 18:15-20, maupun Surat Roma 13: 8-14, terkandung setidaknya dua hal penting, yaitu sebuah peraturan bersifat hukum (tata cara menasihati sesama Saudara; hukum taurat), dan semangat untuk mengasihi. Teks Injil Matius merupakan salah satu dasar bagi gereja untuk melakukan tindakan pamerdi (penggembalaan khusus). Sayangnya, penggembalaan khusus sering bernuansa menghakimi dibanding mengasihi. Padahal, jika kita teliti lebih cermat, bukankah kedua teks itu menekankan pentingnya mengasihi dibanding menghakimi? Kita mestinya mengingat tindakan Allah yang utama dalam diri Kristus tidak lain adalah “menghakimi melalui anugerah kasih.” Allah sendiri tidak pernah menghakimi kita dengan menjatuhkan hukuman, melainkan justru menggantikan hukuman tersebut dengan cara sebuah pengorbanan. Itu mengapa, hal yang utama yang perlu diwarisi orang Kristen sebagai pengikut Kristus adalah bagaimana memaknai perintah Allah, baik yang sifatnya peraturan-peraturan sekali pun, harus menjunjung prinsip tertinggi, yaitu mengasihi.
Ekspresi kasih sejati sering luput dari perenungan kita ketika kita sibuk bergereja dengan segala sistem organisasinya, apalagi dengan segala birokrasinya. Suatu saat, kita akan menyadari betapa kita membutuhkan gereja yang siap menerima kita apa adanya, mendapatkan ungkapan kasih yang sejati dari sesama Saudara kita. Mengapa? Karena ungkapan kasih sejati barangkali memang tidak ada di luar gereja. Bagi yang pernah berbuat dosa, jangan sungkan datang ke gereja, sebab di sana semua orang saling mengasihi daripada menghakimi. Bagi orang yang gemar menghakimi, semoga mereka suatu saat sadar bahwa mereka lebih butuh dikasihi daripada dihakimi. (DK)